05 October 2008

Di Tengah Derita, Tetap Semangat Menggapai Cita-cita


Tanggal 26

Tanggal 26 Desember 2004
Malapetaka menimpaHati memelang derita nestapa
Pulau Aceh musnah desa hancur
Mayat terbujur ditimpa ombak
Berdebu Aceh digoncang tsunami
Menyapu daratan tak kuasa tangan
Manusia menahan ribuan korban berjatuhan
Sara Umaina (Nadia), 10 tahun

Suara pelan mengalunkan rangkaian bait-bait puisi, keluar dari bibir mungil seorang bocah kecil bernama Sara Umaina yang lebih akrab dipanggil Nadia. Sudah lebih 3 tahun yang lalu peristiwa tsunami menimpa Aceh, namun luka masih membekas dan terpancar jelas lewat tatapan matanya yang sendu.

Kini Nadia kecil mengisi hari-harinya seorang diri tanpa ditemani kehadiran kedua orangtua dan kakaknya. Sapuan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu bukan hanya memporak-porandakan rumah dan kampung halaman, tetapi juga merenggut keluarga dari sisinya.Saat bencana terjadi, ia tengah asik bermain bersama teman-teman tak jauh dari kediamannya. Ajakan sang kakek untuk menyelamatkan diri mengendarai sepeda motor berhasil menyelamatkan nyawa Nadia.

Ketika berjuang mengatasi trauma, Nadia mendapatkan pendampingan di tempat bermain dan belajar Ruang Sahabat Anak (Child Friendly Space/ CFS) World Vision di Aceh. Setelah melalui proses pemulihan secara bertahap, sekarang ia sudah lebih siap kembali manjalani kehidupan normal. Di bawah asuhan kakek dan nenek, Nadia menempati rumah yang dibangun World Vision untuk para korban tsunami sejak Maret 2006 di Desa Saney. Di rumah inilah ia tumbuh dan menjalani aktivitas sebagai seorang siswi kelas 6 SD. Prestasinya tidak hanya cemerlang dalam bidang akademik, tapi ia juga pandai menuangkan rangkaian kata-kata dalam bait-bait puisi. Juara membaca puisi pada acara Hari Anak Nasional yang diselenggarakan World Vision di Aceh Besar berhasil diraihnya.

Saat ditanya mengenai mimpinya di masa depan, dengan mata berbinar dan mimik serius ia menjawab, ”Menjadi seorang dokter.” Sungguh sebuah cita-cita mulia.Mengejar cita-cita memberikan semangat untuk selalu rajin belajar. Seolah ia memperoleh kembali cahaya yang menerangi hidupnya. Meskipun masih panjang perjalanan yang harus ditempuh, masih banyak usaha yang harus dilakukan. Namun ternyata dalam derita, masih ada secercah harapan untuk meraih impian.

Selamat mengapai cita-citamu Nadia…tetap semangat!

04 October 2008

Menanti Mentari Bersinar di Pulau Rote






Menyusuri Pulau Rote, membiarkan diri terpikat keeksotisan alam dan budayanya. Pengalaman luar biasa yang membawa sejuta kenangan. Saya pun jatuh cinta dan berjanji suatu saat akan kembali ke salah satu pulau paling selatan di Tanah Air ini.

Surga kecil yang belum tersentuh adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan Pulau Rote di Propinsi Nusa Tenggara Timur ini. Bersama tim dari World Vision Indonesia, sebuah lembaga kemanusiaan internasional, perjalanan saya dimulai sejak melangkahkan kaki di Pelabuhan Ba’a, pelabuhan kecil yang dapat ditempuh selama 1,5 jam dari Kota Kupang dengan menggunakan kapal feri cepat.

Dari pelabuhan ini, saya mulai mencicipi keindahan Pulau Rote. Deburan-deburan ombak yang berkejaran di pinggir pantai terdengar merdu. Langit biru jernih bertemu dengan lautan kelabu menciptakan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Tak tahan rasanya untuk segera menguak berbagai cerita, kehidupan dan keindahan yang ada di sini.

Tetapi, kali ini, waktu untuk mengeksplorasi Rote memang tidak banyak. Jadwal padat telah disusun agar waktu kunjungan tiga hari dua malam ini dapat maksimal digunakan untuk menggali informasi dan mengeksplorasi keunikan budaya dan kehidupan masyarakat setempat. Perjalanan kali ini bertambah sempurna karena ditemani seorang “tour guide” ramah yang siap menjelaskan dan mengantarkan saya menjelajah sudut-sudut Pulau Rote. Dia adalah Bapak Sugiyarto yang akrab dipanggil Pak Sugi, Area Development Program (ADP) Manager Wilayah Rote dari Wahana Visi Indonesia, partner setempat dari World Vision Indonesia.

Setelah melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan, hari itu ditutup dengan makan malam di restoran sederhana di pinggir laut Pantai Ba’a. Sedikit kalap, saya memesan hidangan laut cukup banyak. Udang besar bakar dan ikan kuah asam sangat menggelitik lidah. Rasanya perjalanan tidak lengkap jika belum mencicipi kedua masakan tradisional tersebut. Berwisata kuliner, khususnya seafood, memang dapat dijadikan salah satu tujuan wisata di daerah ini.

Bermalam di hotel yang mempunyai akses langsung dengan Pantai Ba’a membawa kenikmatan tersendiri. Dari beranda hotel yang menjorok ke laut, saya dapat menikmati saat-saat matahari terbenam serta mencium segarnya aroma air laut yang merebak di udara. Pengalaman langka yang sulit saya temui di kota, apalagi di Jakarta,

Esok harinya, saya mendapatkan wawasan baru. Kalau kemarin saya sungguh terkesima melihat alam Pulau Rote, kali ini budaya dan kehidupan masyarakat menjadi prioritas utama. Saya mendapat kesempatan berinteraksi langsung dengan masyarakat di Desa Oelunggu.

Ketika membuka pintu mobil, terdengar alunan merdu suara musik Hemba Me o (pukul gong) dan Labu (Tambur), alat musik tradisional Rote, yang siang itu dimainkan oleh sekumpulan bapak-bapak berumur di atas 40 tahun. Musik itu mengiringi lenggak-lenggok dua orang perempuan dalam tarian penyambutan.

Adrianus Tulle, manileo (pemimpin adat) dan Kepala Desa Oelunggu, beserta sekitar 20 orang anggota masyarakat dan pemimpin adat sudah berkumpul dan siap bercerita mengenai revitalisasi budaya. Pada siang itu hadir juga Yohanes Ndolu, seorang manileo di Leo (suku kecil, kumpulan dari beberapa marga) Kunak di Nusak Ba’a, yang juga berperan sebagai motivator ADP Rote Wahana Visi Indonesia. Dia adalah penggagas program revitalisasi budaya di Pulau Rote.

Kebudayaan memang harus dilestarikan. Namun ketika terjadi praktek-praktek budaya yang berlebihan, seperti pesta Tu’u Belis (perkawinan) dan pesta kematian, diperlukan kemauan keras dan keberanian untuk mulai membuat perubahan, terlebih terhadap budaya yang telah diwariskan turun-temurun dan dipraktekkan selama ratusan tahun.

Kebiasaan berpesta selama tujuh hari tujuh malam dengan menyembelih hewan ternak yang bisa mencapai ratusan ekor dalam pesta kematian disadari sebagai pemborosan besar-besaran. Apabila ada sebuah pesta kematian, keluarga dan kerabat dekat wajib membawa hewan ternak untuk diberikan pada keluarga yang meninggal. Tidak hanya berhenti sampai disitu, hewan yang telah diberikan dianggap sebagai hutang sehingga pada saat ada kerabat dan keluarga lain meninggal dunia, keluarga yang telah terlebih dahulu menerima pemberian hewan ternak berkewajiban mengembalikan pada saat upacara kematian.

Bisa dibayangkan apabila sebuah keluarga telah menerima ratusan ekor hewan ternak maka keluarga tersebut berkewajiban mengembalikan jumlah yang sama kepada tetangga dan keluarga yang telah datang melayat pada saat ada kematian di keluarganya. Tidak jarang seorang kepala keluarga meninggalkan hutang waris kepada anak dan cucunya.

Untuk pesta Tu’u Belis, keluarga mempelai pria wajib memberikan belis (mas kawin) kepada keluarga mempelai wanita dalam tiga tahapan, yaitu pemberian Tetafa (tombak dan parang panjang), pemberian belis untuk To’o (saudara laki-laki paling tua dari ibu) serta pemberian belis sebagai ucapan terima kasih kepada ibu mempelai wanita yang sering disebut “Air Susu Mama”. Biaya belis tersebut diluar biaya berkumpul dan mengadakan pesta.

Sebagai langkah lanjutan dari sosialisasi yang telah dilakukan kepada masyarakat, pada tanggal 26 Januari 2006, Yohanes Ndolu mengundang semua tokoh adat di Nusak Ba’a untuk mengadakan pertemuan membahas rencana revitalisasi budaya. Karena sudah ada dukungan dari masyarakat Leo Kunak pada tanggal 21 Pebruari 2006 dibentuklah Forum Komunikasi Adat Budaya sekaligus dibuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Forum Komunikasi Adat Budaya yang mempunyai tujuan menyederhanakan pesta Tu’u belis dan pesta kematian.

Kini setelah revitalisasi budaya telah berjalan, masyarakat menerapkan kesepakatan bersama standarisasi pesta Tu’u Belis dan Kematian. Mereka tak perlu lagi mengeluarkan biaya puluhan hingga ratusan juta karena standar Belis Leo Kunak ditetapkan tidak boleh lebih dari Rp 3.650.000. Selain itu, tidak boleh ada pesta pernikahan secara besar-besaran, yang boleh dilakukan hanya menghidangkan kue dan minum saja atau nasi dengan ikan.

Dalam pesta kematian, disepakati untuk tidak mengadakan pemotongan hewan ternak. Kegiatan kumpul-kumpul pun hanya dibatasi tiga hari saja. Tentu saja, setiap perubahan ada pihak yang pro dan kontra. Namun, yang jelas, masyarakat sudah mulai merasakan manfaat dari proses revitalisasi budaya.

Saat ini ada enam anak yang mendapatkan beasiswa dari hasil pengumpulan uang bersama oleh masyarakat setempat untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Sebelumnya, ketika belum ada revitalisasi budaya, pendidikan kurang begitu diperhatikan. Masyarakat lebih memilih memenuhi kewajiban menjalankan praktek adat dan budaya Tu’u Belis dan Pesta Kematian. Sebagai contoh, keluarga Tolasik sebagai salah satu keluarga terkaya di Nusak Ba’a hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SMP saja.

Dampak positif program revitalisasi Tu’u Belis dan Pesta Kematian yang dilakukan Yohanes Ndolu bekerjasama dengan World Vision mulai dilirik masyarakat di nusak-nusak lain. Beberapa nusak, seperti Nusak Tie, Dela, Lole, Denka (di Kecamatan Rote Selatan, Rote Barat Laut, Rote Barat Daya dan Rote Barat), telah meminta Yohannes Ndolu dan World Vision untuk melakukan sosialisasi di wilayah mereka dan mulai tergerak untuk mempraktekkannya.

Kisah revitalisasi budaya sangat menarik untuk diangkat. Bukan hanya karena penyederhanaan bentuk praktek budaya dapat membawa perubahan terhadap kehidupan ekonomi masyarakat, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kelangsungan hidup dan masa depan generasi penerus di Rote.

Keingintahuan akan budaya masyarakat setempat akhirnya terjawab melalui forum diskusi siang hari itu. Setelah menikmati air nira yang diminum dalam wadah dari daun lontar yang disebut ha’i, saya bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Pantai Nemberala yang terkenal sebagai tempat berselancar para wisatawan asing.

Perjalanan ke Pantai Nemberala ditempuh selama 45 menit dari pusat Kota Ba’a. Dalam perjalanan saya masih bisa menikmati paduan harmonis pantai dan lembah serta pegunungan dan padang rumput yang dibingkai indah oleh batang-batang kering pohon-pohon berwarna kecoklatan yang meranggas di musim panas.

Ternyata benar yang dikatakan orang bahwa Pantai Nemberala sangat indah dan asri. Herannya, yang lebih banyak menikmati keberadaan pantai ini adalah para wisatawan mancanegara. Saya tidak bisa menahan diri lagi untuk berlari-lari kecil di atas hamparan pasir putih, bermain air dan merasakan tiupan angin segar sambil mengagumi birunya laut.

Ketika senja mulai turun mendekat ke horizon, saya pun duduk berjajar bersama pengunjung lainnya yang mulai keluar satu-persatu dari tempat peristirahatan untuk menyaksikan tenggelamnya matahari. Saya beranjak pulang ke Ba’a setelah sang matahari menghilang ke peraduan.

Tujuan di hari terakhir adalah mengunjungi Desa Kuli dengan panorama pantai yang tiada duanya dan dibentengi jajaran tebing tinggi. Budi daya rumput laut Rote yang dikembangkan oleh masyarakat setempat bekerjasama dengan World Vision telah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Musim hujan dengan rentang waktu tiga bulan hanya memungkinkan untuk satu kali musim panen bagi petani bawang dan dua kali bagi petani padi. Masyarakat membutuhkan mata pencaharian lain untuk menghidupi keluarga dan menjalani musim kemarau yang panjang.

Melalui program LINTAS (Livelihood for Nusa Tenggara Timur Seaweed) yang digagas dan terus dikembangkan oleh World Vision Indonesia, 90 keluarga yang terbagi dalam tiga kelompok yang diketuai Matheus Tambaru, Godlif Tambaru dan Yohanes Anakukai difasilitasi dalam program pengembangan budi daya rumput laut.

Pelatihan di daerah lain, seperti di Kupang dan Sikka (Flores) mampu memberikan pengetahuan baru untuk diterapkan di daerah asal. Manfaat nyata mulai dirasakan penduduk. Pendapatan yang semula hanya berkisar puluhan ribu rupiah sebulan dari menangkap ikan di laut, kini meningkat menjadi jutaan rupiah dari hasil budi daya rumput laut. Tambahan penghasilan ini sangatlah berarti untuk membiayai sekolah anak hingga jenjang tertinggi, membangun rumah dan menutup berbagai kebutuhan lain, bahkan juga untuk membeli parabola.

Dari pengalaman saya menjelajah Pulau Rote, kegiatan menyusuri Pantai Kuli menggunakan sampan kayu kecil adalah salah satu pengalaman paling seru. Melalui kunjungan ke daerah budi daya rumput laut di laut lepas tersebut, seolah saya dapat merasakan sendiri kehidupan penduduk asli Pulau Rote. Saya masih terapung-apung di tengah lautan ketika matahari mulai terbenam dan hilang di balik tebing tinggi. Pengalaman tak terlupakan!

Saya tinggal hingga larut malam di rumah penduduk. Menyatu dengan masyarakat dan merasakan sendiri bagaimana mereka menjalani hidup sehari-hari membuat perasaan saya semakin hanyut. Ada rasa tidak rela memikirkan kenyataan bahwa besok pagi saya harus kembali ke Jakarta.

Habis sudah waktu saya untuk menjelajah Rote. Berat sekali rasanya meninggalkan pulau ini, tapi bunyi peluit kapal feri sudah mengudara pertanda saya harus kembali ke Kupang dan ke keriuhan Jakarta. Di dek kapal feri, ketika menoleh untuk terakhir kali, saya hanya mampu mendesah lirih dan berjanji untuk suatu saat kembali lagi ke Rote. Bukan hanya untuk sekedar menikmati buaian alam nan cantik menyentuh jiwa, juga bukan hanya untuk berselancar di atas gulungan-gulungan ombak putih bak kapas, melainkan juga untuk menjumpai perubahan-perubahan berarti dalam kehidupan masyarakat setempat. Tak sabar rasanya untuk melihat dan mendengar lebih banyak anak-anak Rote tumbuh, berkembang dan mampu meraih cita-citanya. Tak sabar rasanya melihat generasi penerus yang akan membawa nama harum Rote di tingkat yang lebih luas.

Kunjungan singkat ke Pulau Rote meninggalkan banyak sekali pengalaman baru dan berharga untuk melihat sisi lain kehidupan. Sayangnya baru sedikit kekayaan alam di Pulau ini yang telah dimaksimalkan bagi kehidupan masyarakat setempat. Banyak penduduk Rote masih hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan masih ada anak-anak yang meninggal karena kelaparan.

Saya percaya dengan kerjasama erat dan kepedulian berbagai pihak akan ada banyak jalan yang bisa dilakukan untuk mengurangi masalah sosial di Pulau Rote, karena penduduk Pulau Rote mempunyai semangat dan kemauan tinggi untuk meningkatkan kehidupan mereka. Kesediaan untuk bahu-membahu serta bergandengan tangan akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semoga mentari harapan segera bersinar menerangi Bumi Rote tercinta.


Mai Falisa Nusa Lote. Sampai bertemu kembali di Nusa Rote!