01 December 2008

a little star



If I were the sun,
you would need a sun screen to handle my lights:)
I thought I would prefer to be a little star in the night.

Would you be my moon?

28 November 2008

Selamatkan Anak-anak Kita Dari Bahaya HIV & AIDS!

“Setiap menit seorang anak menjadi korban laju penyebaran HIV & AIDS di seluruh dunia.” (UNAIDS, 2007)

Hari AIDS Sedunia diperingati untuk yang ke-20 kalinya tanggal 1 Desember 2008 ini. Berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan dilakukan, namun peningkatan jumlah penderita masih sangat merisaukan. Di berbagai belahan dunia 2,3 juta anak di bawah 15 tahun hidup dengan HIV, dimana 530 ribu diantaranya baru terinfeksi pada tahun 2006. Secara keseluruhan, 33 juta warga dunia hidup dengan HIV di akhir tahun 2007. Faktanya, setiap menit seorang anak menjadi korban laju penyebaran HIV & AIDS di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia?
Tak luput dari ancaman HIV & AIDS, ribuan orang dan anak-anak Indonesia pun terancam virus penyakit mematikan ini. Tahun 2008, 18.963 orang terjangkit HIV & AIDS, 798 diantaranya berusia 0-19 tahun. Jumlah ini masih jauh di bawah estimasi yang dibuat oleh Depkes RI tahun 2006, yaitu 193.000. DKI Jakarta, Jawa Barat dan Papua adalah 3 dari 33 propinsi dengan kasus tertinggi.

Pengumpulan data HIV & AIDS yang akurat terus menjadi tantangan di Indonesia. Masih banyak wilayah belum terjangkau layanan kesehatan memadai akibat keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas kesehatan. Begitu kuatnya stigma dan diskriminasi di kalangan masyarakat terhadap penderita HIV & AIDS, menjadi faktor penghalang yang menyulitkan proses pelaporan akurat dan menyebabkan ketimpangan pencatatan jumlah kasus di Indonesia.

Trihadi Saptoadi, National Director World Vision Indonesia di sela-sela siaran persnya mengatakan “Anak-anak harus menjadi prioritas utama. Mereka perlu mendapatkan bimbingan dan pengarahan tepat sejak dini agar dampaknya dapat diminimalkan. Semua anak harus dapat mengakses fasilitas dan informasi pencegahan dan penanggulangan. Menyelamatkan anak-anak kita dari bahaya HIV dan AIDS adalah tanggung jawab kita semua.”

Ini sangat berkroelasi dengan lembaga kemanusiaan World Vision Indonesia yang selalu memberi perhatian serius pada pencegahan penyebaran/penularan HIV & AIDS di tingkat anak dan remaja. Program-program yang dilaksanakan berbasis sekolah dan dirancang sangat komprehensif dan berkesinambungan.

Dalam memperingati Hari AIDS Sedunia tahun ini, wilayah Papua dengan tingkat penyebaran HIV & AIDS ke-tiga tertinggi di Indonesia, World Vision melaksanakan kegiatan positif yang melibatkan partisipasi anak, seperti turnamen sepak bola dan penyadaran bahaya HIV & AIDS yang diikuti oleh 24 SMP se Jayapura. Kegiatan berlanjut dengan rangkaian kegiatan Lomba Majalah Dinding bertema HIV & AIDS antar SMP & SMA, Lomba Tari Kontemporer remaja, Arena Informasi HIV & AIDS.

Selain itu, di 8 SMU dan 15 SLTP di 6 Kecamatan di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat dilaksanakan program 1 jam belajar dan diskusi tentang HIV & AIDS tanggal 1 Desember 2008 yang difasilitasi oleh 23 guru dan 23 pelajar ‘pendidik sebaya’ di masing-masing sekolah. Secara serempak kegiatan serupa dilaksanakan di 36 Daerah Pelayanan World Vision (ADP/ Area Development Program) dari Sabang Hingga Merauke yang melibatkan pelajar dari 157 SMP dan 91 SMU.

“Hari AIDS Sedunia menjadi momentum yang tepat untuk bertindak. Tanggal 1 Desember jangan diperingati secara seremonial belaka. Semua pihak perlu mencari solusi terbaik dan bertindak simultan memerangi HIV & AIDS. Mari, selamatkan anak-anak kita dari bahaya HIV dan AIDS”, lanjut Trihadi.

Di Jakarta, Proyek LinDung mulai dilaksanakan sejak Desember 2005. Salah satu strategi utamanya adalah membentuk kelompok pendidik sebaya (siswa SMP atau yang berusia 12-15 tahun) untuk menyampaikan informasi yang benar mengenai HIV dan AIDS kepada teman-teman sebaya. Para pendidik sebaya ini dikenal dengan sebutan Sahabat Sumber Informasi (SSI).

Mereka berbagi informasi tentang HIV dan AIDS melalui kegiatan sekolah seperti ekstrakurikuler, masa orientasi siswa di tahun ajaran baru, perayaan Hari Remaja Internasional, Peringatan Hari Anti Narkotika Internasional, Peringatan Hari AIDS Sedunia, mengisi majalah dan mading sekolah dan aktivitas positif lain yang sesuai dengan kebutuhan sekolah mereka.

Menjalani peran apapun dalam hidup, kita semua terdampak darinya. Ini saatnya bertanggung jawab membuat perubahan untuk diri kita sendiri maupun anak-anak kita. Di Hari AIDS Sedunia ini, mari kita prioritaskan respon terhadap HIV & AIDS untuk selamatkan anak-anak kita dan generasi penerus bangsa. Ayo hentikan AIDS, tepati janji saat ini juga!!

23 November 2008

late nite escape






I felt so tired because of hectic working days. Fortunatelly, they (my 3 bodyguards) invited me for dinner and drinks at Segara. We had fun chat until 1 am. Thank you guys. It was such a wonderful night!

07 November 2008

Memupuk Harapan Yang Tak Pernah Pupus di Rote Ndao


Matanya sayu, wajahnya kuyu, tubuhnya panas dan demam. Pak Manehat, demikian kami menyapanya, melewati siang hari itu dengan terduduk lemas di atas dipan kayu tak berkasur. Dokter di Puskesmas mendiagnosa bahwa ia menderita penyakit TBC. Otomatis, sudah seminggu ia tidak dapat bekerja.Nasib sembilan anak yang menggantungkan hidup dari mata pencahariannya sebagai buruh harian lepas, semakin terkatung-katung. Upahnya memang tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Meskipun sang istri sudah berusaha membantu mencari nafkah tambahan dengan menjadi tukang cuci harian.


Siang hari itu, nasib 9 anak sangat tak menentu. Jam sudah menunjukkan pukul satu, namun makan siang sepertinya tak akan pernah terhidang. Tak ada beras atau lauk-pauk yang bisa dimasak . Yang ada hanya tatapan-tatapan kosong penuh pengharapan menanti satu hal yang tak pernah pasti. Padahal keinginan mereka sederhana, bisa makan pada siang itu.Mengenaskan, melihat bagaimana keluarga ini menjalani kehidupan. Berteduh di bawah naungan rumah beralas tanah dan berdinding kayu gewang berukuran 4 x 5 meter persegi yang merupakan satu-satunya harta berharga. Jangankan berangan-angan memperoleh pendidikan yang layak, bisa bersantap dengan cukup saja merupakan sebuah anugerah.


Akibat kesulitan ekonomi yang mendera, Renita (2 tahun) dan Rehan (11 bulan), dua anak terkecil keluarga Manehat pada bulan Maret lalu hanya bisa terbaring tak berdaya. Mereka terkena kasus gizi buruk yang menimpa sebagian balita di Rote. Setelah dirawat selama seminggu di RSUD Ba’a dan mendapatkan pendampingan dari Area Development Program wilayah Rote - World Vision Indonesia, kondisi keduanya mulai membaik.Potret keluarga Manehat mewakili kondisi ribuan keluarga lainnya di Rote Ndao. Saat ini kasus kelaparan dan gizi buruk menjadi perhatian utama. Apabila tidak ditangani dengan serius, Rote akan kehilangan satu generasi. Pemerintah setempat menetapkan hal ini sebagai Kejadian Luar Biasa. Kemiskinan membuat kebutuhan gizi para balita jadi terabaikan. Rata-rata penghasilan per kepala keluarga hanya mencapai puluhan ribu rupiah per bulan.


Ironis sekali mengingat Rote, pulau paling selatan di wilayah Indonesia ini memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa. Jika dimanfaatkan dapat menopang kehidupan perekonomian masyarakat setempat. Saat ini peran lembaga kemanusiaan sangat dibutuhkan untuk mendukung pemerintah dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.World Vision yang hadir sejak tahun 1997 melalui Program Pengembangan Wilayah Rote terus aktif melakukan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Diantaranya melalui program nutrisi, pengembangan ekonomi, pendidikan dasar, sponsorship anak, revitalisasi budaya yang sangat memiskinkan.


Hal ini terus dilakukan agar ribuan anggota masyarakat dapat hidup mandiri sehingga suatu saat mereka tidak lagi hanya bisa berangan dapat makan cukup saja tetapi mempunyai impian-impian yang jauh lebih besar kedepan. Dan tentu saja bukan hanya berangan melainkan juga mewujudkannya, karena mereka memang pantas memilikinya. (*Sari Estikarini)

02 November 2008

Media Tanggap Bencana

Phiewww akhirnya sampai juga di Jakarta. Setelah berhari-hari menghabiskan waktu bersama teman-teman wartawan dari berbagai media di seluruh Indonesia untuk mengikuti training Media Tanggap Bencana di Camp Batutapak Sukabumi, akhirnya bisa juga pulang ke rumah. homesick...I really miss my home and bedroom, juga Vito my little nephew yang suka manggil aku “Tante Kula-Kula,” dengan suara cadelnya.

Capek memang, tapi happy. Selain nambah teman, segudang pengalaman, ilmu, humor-humor baru, stress dan pikiran-pikiran nggak penting yang biasanya bikin penat kepala jadi hilang.

Awalnya sempet panik juga sih karena para wartawan seperti biasanya selalu memberikan konfirmasi kehadiran last minute. Dan yang paling nyebelin pagi-pagi sebelum berangkat ada satu wartawan dari salah satu surat kabar nggak ngabarin sama sekali kalau nggak jadi datang.

Untungnya semua bisa diatasi. Kebetulan, Mas Koko dari Kompas dan Fitriansah dari TVRI hari itu ikutan hadir untuk meliput acara meskipun nggak bisa nginep. Sebenarnya tujuan penyelenggaraan media team building tanggap bencana ini adalah untuk membekali para wartawan dan wadah berbagi informasi agar wartawan lebih siap meliput ketika terjadi bencana. Asia apalagi Indonesia dinilai sebagai daerah rawan bencana. World Vision Indonesia sebagai sebuah lembaga kemanusiaan yang sangat tanggap bencana dan berpengalaman terjun langsung di berbagai belahan dunia ketika terjadi bencana melihat bahwa peran media sangat penting untuk membantu kondisi pemulihan bencana.

Selama tiga hari kami jadi lebih akrab satu sama lain. Indonesia Trekking sebagai EO berhasil mengemas acara dalam permainan yang seru dan menyenangkan. Selain itu World Vision selaku penyelenggara mendatangkan nara sumber dari Global Rapid Response Team Stephen Matthews dan James East untuk berbagi ilmu dan pengalaman kepada para peserta.

Para peserta juga berkesempatan turun naik gunung dan masuk sungai untuk menguji ketahanan fisik. Tapi seperti biasa…aku masuk dalam kloter terakhir…huhuhu malu banget yang ngundang kok malah belakangan. Bahkan Steve manggil aku Grandma karena aku harus dituntun ketika menyeberangi sungai. Ihh nyebelin…Tapi thanks to Bang Alvin yang udah setia menemani selama perjalanan dan minjemin sepatunyaJ

Setelah melalui malam pertama dengan terjaga sepanjang malam karena tidak bisa tidur akibat kedinginan, akhirnya aku bisa melalui malam kedua dengan lebih gembira. Band XP yang biasa manggung di X2 dan Ritz, malam itu menghibur kami dengan suara merdunya.

Kami menghabiskan malam panjang itu dengan bergoyang sampai pagi. Kebetulan malam itu adalah malam terakhir. Kehadiran api unggun dan kambing guling juga membuat suasana bertambah semarak.

Sedih karena keesokan harinya kami harus pulang dan berpisah. Pengalaman selama tiga hari ini membuat kami sangat dekat satu sama lain. Belum lagi ada celetukan-celetukan kocak Topan dan Dodi yang selalu menyegarkan. Rasanya belum mau pulang, namun ada keluarga kami di rumah masing-masing yang tentunya merindukan kepulangan kami. Dan bagaimanapun juga badan kami sudah lelah dan butuh istirahat. Sampai jumpa teman-teman media, sampai jumpa Cidahu, sungguh pengalaman tak terlupakan. Will miss you so much all!

05 October 2008

Di Tengah Derita, Tetap Semangat Menggapai Cita-cita


Tanggal 26

Tanggal 26 Desember 2004
Malapetaka menimpaHati memelang derita nestapa
Pulau Aceh musnah desa hancur
Mayat terbujur ditimpa ombak
Berdebu Aceh digoncang tsunami
Menyapu daratan tak kuasa tangan
Manusia menahan ribuan korban berjatuhan
Sara Umaina (Nadia), 10 tahun

Suara pelan mengalunkan rangkaian bait-bait puisi, keluar dari bibir mungil seorang bocah kecil bernama Sara Umaina yang lebih akrab dipanggil Nadia. Sudah lebih 3 tahun yang lalu peristiwa tsunami menimpa Aceh, namun luka masih membekas dan terpancar jelas lewat tatapan matanya yang sendu.

Kini Nadia kecil mengisi hari-harinya seorang diri tanpa ditemani kehadiran kedua orangtua dan kakaknya. Sapuan tsunami pada 26 Desember 2004 lalu bukan hanya memporak-porandakan rumah dan kampung halaman, tetapi juga merenggut keluarga dari sisinya.Saat bencana terjadi, ia tengah asik bermain bersama teman-teman tak jauh dari kediamannya. Ajakan sang kakek untuk menyelamatkan diri mengendarai sepeda motor berhasil menyelamatkan nyawa Nadia.

Ketika berjuang mengatasi trauma, Nadia mendapatkan pendampingan di tempat bermain dan belajar Ruang Sahabat Anak (Child Friendly Space/ CFS) World Vision di Aceh. Setelah melalui proses pemulihan secara bertahap, sekarang ia sudah lebih siap kembali manjalani kehidupan normal. Di bawah asuhan kakek dan nenek, Nadia menempati rumah yang dibangun World Vision untuk para korban tsunami sejak Maret 2006 di Desa Saney. Di rumah inilah ia tumbuh dan menjalani aktivitas sebagai seorang siswi kelas 6 SD. Prestasinya tidak hanya cemerlang dalam bidang akademik, tapi ia juga pandai menuangkan rangkaian kata-kata dalam bait-bait puisi. Juara membaca puisi pada acara Hari Anak Nasional yang diselenggarakan World Vision di Aceh Besar berhasil diraihnya.

Saat ditanya mengenai mimpinya di masa depan, dengan mata berbinar dan mimik serius ia menjawab, ”Menjadi seorang dokter.” Sungguh sebuah cita-cita mulia.Mengejar cita-cita memberikan semangat untuk selalu rajin belajar. Seolah ia memperoleh kembali cahaya yang menerangi hidupnya. Meskipun masih panjang perjalanan yang harus ditempuh, masih banyak usaha yang harus dilakukan. Namun ternyata dalam derita, masih ada secercah harapan untuk meraih impian.

Selamat mengapai cita-citamu Nadia…tetap semangat!

04 October 2008

Menanti Mentari Bersinar di Pulau Rote






Menyusuri Pulau Rote, membiarkan diri terpikat keeksotisan alam dan budayanya. Pengalaman luar biasa yang membawa sejuta kenangan. Saya pun jatuh cinta dan berjanji suatu saat akan kembali ke salah satu pulau paling selatan di Tanah Air ini.

Surga kecil yang belum tersentuh adalah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan Pulau Rote di Propinsi Nusa Tenggara Timur ini. Bersama tim dari World Vision Indonesia, sebuah lembaga kemanusiaan internasional, perjalanan saya dimulai sejak melangkahkan kaki di Pelabuhan Ba’a, pelabuhan kecil yang dapat ditempuh selama 1,5 jam dari Kota Kupang dengan menggunakan kapal feri cepat.

Dari pelabuhan ini, saya mulai mencicipi keindahan Pulau Rote. Deburan-deburan ombak yang berkejaran di pinggir pantai terdengar merdu. Langit biru jernih bertemu dengan lautan kelabu menciptakan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Tak tahan rasanya untuk segera menguak berbagai cerita, kehidupan dan keindahan yang ada di sini.

Tetapi, kali ini, waktu untuk mengeksplorasi Rote memang tidak banyak. Jadwal padat telah disusun agar waktu kunjungan tiga hari dua malam ini dapat maksimal digunakan untuk menggali informasi dan mengeksplorasi keunikan budaya dan kehidupan masyarakat setempat. Perjalanan kali ini bertambah sempurna karena ditemani seorang “tour guide” ramah yang siap menjelaskan dan mengantarkan saya menjelajah sudut-sudut Pulau Rote. Dia adalah Bapak Sugiyarto yang akrab dipanggil Pak Sugi, Area Development Program (ADP) Manager Wilayah Rote dari Wahana Visi Indonesia, partner setempat dari World Vision Indonesia.

Setelah melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan, hari itu ditutup dengan makan malam di restoran sederhana di pinggir laut Pantai Ba’a. Sedikit kalap, saya memesan hidangan laut cukup banyak. Udang besar bakar dan ikan kuah asam sangat menggelitik lidah. Rasanya perjalanan tidak lengkap jika belum mencicipi kedua masakan tradisional tersebut. Berwisata kuliner, khususnya seafood, memang dapat dijadikan salah satu tujuan wisata di daerah ini.

Bermalam di hotel yang mempunyai akses langsung dengan Pantai Ba’a membawa kenikmatan tersendiri. Dari beranda hotel yang menjorok ke laut, saya dapat menikmati saat-saat matahari terbenam serta mencium segarnya aroma air laut yang merebak di udara. Pengalaman langka yang sulit saya temui di kota, apalagi di Jakarta,

Esok harinya, saya mendapatkan wawasan baru. Kalau kemarin saya sungguh terkesima melihat alam Pulau Rote, kali ini budaya dan kehidupan masyarakat menjadi prioritas utama. Saya mendapat kesempatan berinteraksi langsung dengan masyarakat di Desa Oelunggu.

Ketika membuka pintu mobil, terdengar alunan merdu suara musik Hemba Me o (pukul gong) dan Labu (Tambur), alat musik tradisional Rote, yang siang itu dimainkan oleh sekumpulan bapak-bapak berumur di atas 40 tahun. Musik itu mengiringi lenggak-lenggok dua orang perempuan dalam tarian penyambutan.

Adrianus Tulle, manileo (pemimpin adat) dan Kepala Desa Oelunggu, beserta sekitar 20 orang anggota masyarakat dan pemimpin adat sudah berkumpul dan siap bercerita mengenai revitalisasi budaya. Pada siang itu hadir juga Yohanes Ndolu, seorang manileo di Leo (suku kecil, kumpulan dari beberapa marga) Kunak di Nusak Ba’a, yang juga berperan sebagai motivator ADP Rote Wahana Visi Indonesia. Dia adalah penggagas program revitalisasi budaya di Pulau Rote.

Kebudayaan memang harus dilestarikan. Namun ketika terjadi praktek-praktek budaya yang berlebihan, seperti pesta Tu’u Belis (perkawinan) dan pesta kematian, diperlukan kemauan keras dan keberanian untuk mulai membuat perubahan, terlebih terhadap budaya yang telah diwariskan turun-temurun dan dipraktekkan selama ratusan tahun.

Kebiasaan berpesta selama tujuh hari tujuh malam dengan menyembelih hewan ternak yang bisa mencapai ratusan ekor dalam pesta kematian disadari sebagai pemborosan besar-besaran. Apabila ada sebuah pesta kematian, keluarga dan kerabat dekat wajib membawa hewan ternak untuk diberikan pada keluarga yang meninggal. Tidak hanya berhenti sampai disitu, hewan yang telah diberikan dianggap sebagai hutang sehingga pada saat ada kerabat dan keluarga lain meninggal dunia, keluarga yang telah terlebih dahulu menerima pemberian hewan ternak berkewajiban mengembalikan pada saat upacara kematian.

Bisa dibayangkan apabila sebuah keluarga telah menerima ratusan ekor hewan ternak maka keluarga tersebut berkewajiban mengembalikan jumlah yang sama kepada tetangga dan keluarga yang telah datang melayat pada saat ada kematian di keluarganya. Tidak jarang seorang kepala keluarga meninggalkan hutang waris kepada anak dan cucunya.

Untuk pesta Tu’u Belis, keluarga mempelai pria wajib memberikan belis (mas kawin) kepada keluarga mempelai wanita dalam tiga tahapan, yaitu pemberian Tetafa (tombak dan parang panjang), pemberian belis untuk To’o (saudara laki-laki paling tua dari ibu) serta pemberian belis sebagai ucapan terima kasih kepada ibu mempelai wanita yang sering disebut “Air Susu Mama”. Biaya belis tersebut diluar biaya berkumpul dan mengadakan pesta.

Sebagai langkah lanjutan dari sosialisasi yang telah dilakukan kepada masyarakat, pada tanggal 26 Januari 2006, Yohanes Ndolu mengundang semua tokoh adat di Nusak Ba’a untuk mengadakan pertemuan membahas rencana revitalisasi budaya. Karena sudah ada dukungan dari masyarakat Leo Kunak pada tanggal 21 Pebruari 2006 dibentuklah Forum Komunikasi Adat Budaya sekaligus dibuat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Forum Komunikasi Adat Budaya yang mempunyai tujuan menyederhanakan pesta Tu’u belis dan pesta kematian.

Kini setelah revitalisasi budaya telah berjalan, masyarakat menerapkan kesepakatan bersama standarisasi pesta Tu’u Belis dan Kematian. Mereka tak perlu lagi mengeluarkan biaya puluhan hingga ratusan juta karena standar Belis Leo Kunak ditetapkan tidak boleh lebih dari Rp 3.650.000. Selain itu, tidak boleh ada pesta pernikahan secara besar-besaran, yang boleh dilakukan hanya menghidangkan kue dan minum saja atau nasi dengan ikan.

Dalam pesta kematian, disepakati untuk tidak mengadakan pemotongan hewan ternak. Kegiatan kumpul-kumpul pun hanya dibatasi tiga hari saja. Tentu saja, setiap perubahan ada pihak yang pro dan kontra. Namun, yang jelas, masyarakat sudah mulai merasakan manfaat dari proses revitalisasi budaya.

Saat ini ada enam anak yang mendapatkan beasiswa dari hasil pengumpulan uang bersama oleh masyarakat setempat untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Sebelumnya, ketika belum ada revitalisasi budaya, pendidikan kurang begitu diperhatikan. Masyarakat lebih memilih memenuhi kewajiban menjalankan praktek adat dan budaya Tu’u Belis dan Pesta Kematian. Sebagai contoh, keluarga Tolasik sebagai salah satu keluarga terkaya di Nusak Ba’a hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SMP saja.

Dampak positif program revitalisasi Tu’u Belis dan Pesta Kematian yang dilakukan Yohanes Ndolu bekerjasama dengan World Vision mulai dilirik masyarakat di nusak-nusak lain. Beberapa nusak, seperti Nusak Tie, Dela, Lole, Denka (di Kecamatan Rote Selatan, Rote Barat Laut, Rote Barat Daya dan Rote Barat), telah meminta Yohannes Ndolu dan World Vision untuk melakukan sosialisasi di wilayah mereka dan mulai tergerak untuk mempraktekkannya.

Kisah revitalisasi budaya sangat menarik untuk diangkat. Bukan hanya karena penyederhanaan bentuk praktek budaya dapat membawa perubahan terhadap kehidupan ekonomi masyarakat, tetapi juga memberikan dampak positif bagi kelangsungan hidup dan masa depan generasi penerus di Rote.

Keingintahuan akan budaya masyarakat setempat akhirnya terjawab melalui forum diskusi siang hari itu. Setelah menikmati air nira yang diminum dalam wadah dari daun lontar yang disebut ha’i, saya bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Pantai Nemberala yang terkenal sebagai tempat berselancar para wisatawan asing.

Perjalanan ke Pantai Nemberala ditempuh selama 45 menit dari pusat Kota Ba’a. Dalam perjalanan saya masih bisa menikmati paduan harmonis pantai dan lembah serta pegunungan dan padang rumput yang dibingkai indah oleh batang-batang kering pohon-pohon berwarna kecoklatan yang meranggas di musim panas.

Ternyata benar yang dikatakan orang bahwa Pantai Nemberala sangat indah dan asri. Herannya, yang lebih banyak menikmati keberadaan pantai ini adalah para wisatawan mancanegara. Saya tidak bisa menahan diri lagi untuk berlari-lari kecil di atas hamparan pasir putih, bermain air dan merasakan tiupan angin segar sambil mengagumi birunya laut.

Ketika senja mulai turun mendekat ke horizon, saya pun duduk berjajar bersama pengunjung lainnya yang mulai keluar satu-persatu dari tempat peristirahatan untuk menyaksikan tenggelamnya matahari. Saya beranjak pulang ke Ba’a setelah sang matahari menghilang ke peraduan.

Tujuan di hari terakhir adalah mengunjungi Desa Kuli dengan panorama pantai yang tiada duanya dan dibentengi jajaran tebing tinggi. Budi daya rumput laut Rote yang dikembangkan oleh masyarakat setempat bekerjasama dengan World Vision telah mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Musim hujan dengan rentang waktu tiga bulan hanya memungkinkan untuk satu kali musim panen bagi petani bawang dan dua kali bagi petani padi. Masyarakat membutuhkan mata pencaharian lain untuk menghidupi keluarga dan menjalani musim kemarau yang panjang.

Melalui program LINTAS (Livelihood for Nusa Tenggara Timur Seaweed) yang digagas dan terus dikembangkan oleh World Vision Indonesia, 90 keluarga yang terbagi dalam tiga kelompok yang diketuai Matheus Tambaru, Godlif Tambaru dan Yohanes Anakukai difasilitasi dalam program pengembangan budi daya rumput laut.

Pelatihan di daerah lain, seperti di Kupang dan Sikka (Flores) mampu memberikan pengetahuan baru untuk diterapkan di daerah asal. Manfaat nyata mulai dirasakan penduduk. Pendapatan yang semula hanya berkisar puluhan ribu rupiah sebulan dari menangkap ikan di laut, kini meningkat menjadi jutaan rupiah dari hasil budi daya rumput laut. Tambahan penghasilan ini sangatlah berarti untuk membiayai sekolah anak hingga jenjang tertinggi, membangun rumah dan menutup berbagai kebutuhan lain, bahkan juga untuk membeli parabola.

Dari pengalaman saya menjelajah Pulau Rote, kegiatan menyusuri Pantai Kuli menggunakan sampan kayu kecil adalah salah satu pengalaman paling seru. Melalui kunjungan ke daerah budi daya rumput laut di laut lepas tersebut, seolah saya dapat merasakan sendiri kehidupan penduduk asli Pulau Rote. Saya masih terapung-apung di tengah lautan ketika matahari mulai terbenam dan hilang di balik tebing tinggi. Pengalaman tak terlupakan!

Saya tinggal hingga larut malam di rumah penduduk. Menyatu dengan masyarakat dan merasakan sendiri bagaimana mereka menjalani hidup sehari-hari membuat perasaan saya semakin hanyut. Ada rasa tidak rela memikirkan kenyataan bahwa besok pagi saya harus kembali ke Jakarta.

Habis sudah waktu saya untuk menjelajah Rote. Berat sekali rasanya meninggalkan pulau ini, tapi bunyi peluit kapal feri sudah mengudara pertanda saya harus kembali ke Kupang dan ke keriuhan Jakarta. Di dek kapal feri, ketika menoleh untuk terakhir kali, saya hanya mampu mendesah lirih dan berjanji untuk suatu saat kembali lagi ke Rote. Bukan hanya untuk sekedar menikmati buaian alam nan cantik menyentuh jiwa, juga bukan hanya untuk berselancar di atas gulungan-gulungan ombak putih bak kapas, melainkan juga untuk menjumpai perubahan-perubahan berarti dalam kehidupan masyarakat setempat. Tak sabar rasanya untuk melihat dan mendengar lebih banyak anak-anak Rote tumbuh, berkembang dan mampu meraih cita-citanya. Tak sabar rasanya melihat generasi penerus yang akan membawa nama harum Rote di tingkat yang lebih luas.

Kunjungan singkat ke Pulau Rote meninggalkan banyak sekali pengalaman baru dan berharga untuk melihat sisi lain kehidupan. Sayangnya baru sedikit kekayaan alam di Pulau ini yang telah dimaksimalkan bagi kehidupan masyarakat setempat. Banyak penduduk Rote masih hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan masih ada anak-anak yang meninggal karena kelaparan.

Saya percaya dengan kerjasama erat dan kepedulian berbagai pihak akan ada banyak jalan yang bisa dilakukan untuk mengurangi masalah sosial di Pulau Rote, karena penduduk Pulau Rote mempunyai semangat dan kemauan tinggi untuk meningkatkan kehidupan mereka. Kesediaan untuk bahu-membahu serta bergandengan tangan akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Semoga mentari harapan segera bersinar menerangi Bumi Rote tercinta.


Mai Falisa Nusa Lote. Sampai bertemu kembali di Nusa Rote!